Selasa, 25 Desember 2012

Agresi Belanda

Belanda dan sekutu masuk ke Indonesia, dan dalam masa revolusi itu papi meninggal 1946 karena sakit paru-paru akibat sering perjalanan dinas bersepeda motor ke luar kota.

Setelah papi meninggal, mami bekerja sebagai pengurus ijin keluar masuk di perbatasan daerah kekuasaan Belanda dan Republik. Mami badannya bekerja untuk Belanda demi sesuap nasi dan jiwanya berjuang untuk republik. Rumah mami sering dipakai persembunyian para gerilyawan republik.

Pernah ada yang melapor bahwa rumah mami dipakai untuk kegiatan gerilyawan, sehingga datang beberapa serdadu belanda akan menggeledah rumah. Tetapi dengan tenang mami menghadapi komandan belanda dengan berbahasa belanda menyatakan di rumah tidak ada gerilyawan dan dipersilakan memeriksa apabila tidak percaya. Komandan belanda itu minta maaf apabila kedatangannya mengganggu akibat informasi yang salah. Padahal di dalam beberapa gerilyawan masih bersembunyi, tetapi kedatangan serdadu belanda sudah terlihat dahulu dari dalam rumah. Mami tidak mengira mata-mata belanda adalah tetangga depan rumah yang sangat sopan dan seorang priyayi jawa yang lengkap dengan kain panjang dan blangkonnya.

Adikku Otje yang masih duduk di SD berwajah indo belanda sering dipakai oleh para gerilyawan untuk mengantar surat antar mereka melewati batas daerah pendudukan Belanda.

Tahun 1947 mami menikah lagi dengan seorang duda yang bekerja  di jawatan kereta api. Mochamad Soedjono, namanya. Kami memanggilnya Bapak. Isteri Bapak sebelumnya adalah wanita belanda tetapi menjadi korban penangkapan Jepang atas semua orang-orang Belanda di Indonesia. Dengan Bapak, mami melahirkan adik ke-8 diberi nama Tutik Soeharti.

Kemudian aku liburan sekaligus dititipkan ke adik mami bernama Soekarno di Malang. Ketika Belanda menyerbu Malang, kami mengungsi ke Madiun melewati Blitar, Kediri (sempat sekolah beberapa bulan di SMP Doho).

Di Kediri aku dipondokkan (kost) di teman Bapak yang kerja di perusahaan Kereta Api. Tapi tak beberapa lama aku diminta pindah ke Madiun tinggal bersama Paklik Soekarno, adik mami.

Ketika Bapak pindah tugas ke Situbondo, aku dipanggil pulang untuk sekolah disana. Berhubung jarak sekolah dan rumah sangat jauh, kemudian aku tinggal di Bondowoso bersama adik Bapak bernama Soeparman, karena jarak rumah ke sekolah cukup dekat. Paklik Soeparman seorang kepala pos Bondowoso dan kaya.

Paklik mempunyai anak 6 orang. Aku belajar menempatkan diri di rumah paklik dengan membantu menyiangi kangkung sekarung dari kebunnya setiap hari pulang sekolah, memasak, menjahit dan membersihkan rumah serta halaman. Tak ada beban atau pun iri hati terhadap anak-anak paklik yang santai sehari-harinya tanpa ikut mengurus rumah.

Lulus SMP, aku sekolah SMA di Malang tinggal bersama saudara yaitu Bude Kartiningrat di jalan Celaket. Kelas 3 pindah ke Surabaya bersama orangtua.Bapak pindah tugas di Surabaya sebagai kepala gudang  Stasiun Kereta Api Semut.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer