Selasa, 25 Desember 2012

Era Bung Karno

1953 Aku dilamar seorang tentara berpangkat letnan dua bernama Bambang Soetikno kelahiran tahun 1923 (beda 10 tahun dengan aku). Bambang asal Bojonegoro, ayahnya bernama Soekirno,seorang mantri polisi.

Sebenarnya aku sudah mempunyai pacar seorang tentara pelajar (TRIP), tapi dengan berat hati aku mengatakan kepadanya bahwa seseorang telah melamarku. Bambang seorang yang gigih dalam memperjuangkan untuk memperoleh diriku. Padahal aku tahu dia seorang duda dan orang tua sempat menolak kehadirannya. Apalagi mantan isterinya masih sanak saudara, namanya Tante Nanik. Oleh karena itu aku memanggilnya Om Bambang sampai anak kedua hingga ibu mertua menasihati agar sebagai seorang isteri tidak memanggil om kepada suaminya.

Aku masih ingat ketika Bambang memintaku jadi isterinya, bahwa aku tidak akan masak di dapur. Bambang mengiyakan. Bambang sering membelikan aku buku masakan atau peralatan masak serta mengajak untuk mencoba suatu menu yang menarik. Dengan berjalannya waktu akhirnya aku menyadari perlunya istri masak sendiri menyiapkan makanan untuk suami.

Tanggal 5 Oktober 1954 aku melahirkan bayi laki-laki dalam keadaan prematur usia tujuh bulan kurang, kuberi nama Denny Sanjaya. Belum cukup umur bayiku pertama, pada 27 Februari 1956 aku melahirkan bayi kedua yang kuharap laki-laki sebagai teman anak pertama, ternyata bayi itu seorang perempuan kuberi nama Erna Jasmina

Kami tinggal di kompleks tentara di belakang rumah sakit umum, dan kemudian kami pindah ke jl. Telomoyo 4 Malang, dan lahir bayi ketiga tanggal 18 Juni 1959 yang kuharap seorang perempuan untuk menemani anakku Erna yang tomboy ternyata lahir seorang bayi laki-laki yang aku beri nama Herry Tjakrawala. Tak lama kemudian pindah ke jl. Kasin Kulon. Hanya beberapa bulan di tempat baru itu kami pindah ke Jakarta. Suamiku naik pangkat menjadi Letnan satu.

Anakku Denny dan Erna masuk sekolah TK Istana karena dekat dengan rumah dinas dan kenal dengan salah seorang guru asal Malang. Di TK itu anak-anakku mengenal anak-anak presiden Soekarno yang juga bersekolah disitu. Di TK itu banyak anak-anak dari keluarga tentara.

Belum genap setahun di Jakarta, suami dipindahtugaskan lagi ke Banjarmasin Kalimantan Selatan, sebagai komandan kompi Zipur. Kemudian ditugaskan ke Balikpapan untuk proyek jalan se Kalimantan Timur dengan pangkat Kapten di Zibang.

Tanggal 21 Juni 1963 anakku keempat lahir perempuan kuberi nama Mirna Luna Dini. Aku melahirkan di Malang. Setelah itu aku kembali mendampingi suamiku di Balikpapan yang setelah itu diangkat menjadi walikota Balikpapan tahun 1963 melalui pilkada dengan 3 kontestan. Untuk itu pangkat ketentaraan suamiku disesuaikan dengan jabatan walikota dengan pangkat Mayor.

 Tahun 1965 pecah G30S-PKI dan tahun itu juga jabatan walikota dikembalikan ke sipil. Suami kembali ke proyek jalan se-Kalimantan Timur hingga tahun 1966 .

Kami kembali ke Malang sehubungan suami ditugaskan dinas di Zidam Malang. Tanggal 19 Januari 1966 aku melahirkan anak ke-lima perempuan kuberi nama Vina Isyana Astari.

Berhubung belum mendapat rumah dinas kami tinggal di rumah orang tua di Jl. Ciliwung 32 Malang. Tahun 1968 kami baru mendapatkan rumah dinas di Jl. Untung Surapati 142 H.
Aku sebagai istri tentara tidak tinggal diam di rumah menjalankan tugas sebagai ibu rumah tangga tetapi juga menambah penghasilan untuk kebutuhan keluarga. Aku menerima jahitan dan pelajaran dansa.

Dari hasil pekerjaanku aku membelikan sepeda buat anakku untuk sekolah karena lebih hemat daripada tiap hari naik becak ke sekolahnya di Celaket. Tapi justru dengan membeli sepeda itu suamiku dituduh korupsi walaupun tidak ada bukti. Dasar tuduhan karena atasan suami melakukan korupsi otomatis anak buah pun dapat bagian. Padahal kehidupan kami sebagai keluarga tentara hanya cukup untuk kebutuhan pokok sehari-hari dengan 5 orang anak. Aku tidak terima tuduhan itu dan suami juga mengatakan tidak melakukan perbuatan tercela itu. Aku percaya karena selama mendampingi dia walaupun menjabat jabatan penting pun tidak pernah memanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau memperkaya diri. Sampai saat itu pun kami tidak bisa beli sepeda apalagi rumah. Aku mendatangi kantor suami dan menghadap komandannya untuk menjelaskan asal-usul pembelian sepeda itu. Alhamdulillah akhirnya suamiku bebas dari tuduhan tersebut. Suamiku hanya geleng-geleng mengetahui tindakan tersebut.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer